Ribuan Anak di Magelang Putus Sekolah, Budaya Jadi Biang Keladi
MAGELANG, wisatamagelang.id
– Ribuan anak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dilaporkan putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, data per Desember 2024, sebanyak 6.187 anak dalam rentang usia 7-18 tahun tercatat tidak bersekolah.
Rincian tersebut meliputi 861 anak yang putus sekolah (drop out atau DO), 2.391 anak yang lulus tetapi tidak melanjutkan pendidikan, dan 2.935 anak yang belum pernah bersekolah.
Nurjito AS, operator Tim Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS), menjelaskan bahwa penyebab anak tidak bersekolah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kemiskinan atau ketidakmampuan ekonomi.
“Anak juga dipengaruhi budaya dan pola pikir keluarganya yang mendorong untuk bekerja, alih-alih mengenyam pendidikan formal,” ungkapnya kepada wisatamagelang.idpada Kamis (26/6/2025).
Nurjito juga menyoroti faktor geografis dan latar belakang pertanian yang kerap menghambat akses pendidikan.
“Terutama dengan faktor geografis pegunungan dan latar belakang pertanian,” cetusnya.
Selain itu, pernikahan dini turut berkontribusi terhadap tingginya angka anak tidak sekolah.
Hal ini sering ditemui di wilayah Kecamatan Kajoran dan Kaliangkrik.
“Usia 16-an tahun perempuan sudah menikah,” imbuhnya.
Lambertus Pramudya Wardhana, anggota Tim Penanganan ATS, sependapat dengan Nurjito.
Ia menyatakan bahwa sebagian orang tua mewariskan lahan pertanian kepada anaknya, dengan pemikiran bahwa pendidikan formal tidak diperlukan.
“Karena berpikir buat apa sekolah kalau tujuannya juga bekerja,” ujarnya kepada wisatamagelang.idpada hari yang sama.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah setempat telah meluncurkan kebijakan pembukaan seleksi penerimaan murid baru (SPMB) jalur afirmasi bagi anak tidak sekolah di tingkat menengah pertama.
Syaratnya, anak tidak sekolah dengan maksimal usia 15 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan dapat memilih SMP yang diinginkan.
Selain itu, mereka juga diarahkan untuk mendaftar di satuan pendidikan nonformal atau sekolah kesetaraan.
Nurjito A.S. menambahkan bahwa pengentasan anak tidak sekolah juga dapat dilakukan melalui sanggar belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dengan membebaskan metode pembelajaran sesuai kebutuhan.