Uncategorized

70 Karya Spektakuler Sakato Art Community Hiasi OHD Museum Magelang, Menjelma Warna-Warni Seni Rupa Minangkabau


PR JATENG

– OHD Museum di Kota Magelang kembali menjadi saksi denyut kebudayaan Indonesia lewat pameran seni rupa “Guru Terkembang Jadi Bentuk”. Mulai 18 Juni hingga 18 Oktober 2025, sebanyak 70 karya dari 61 seniman Sakato Art Community (SAC) akan memadati ruang galeri museum dalam perayaan 30 tahun eksistensi komunitas seni Minangkabau ini.

Dibuka resmi pada Rabu, 18 Juni 2025, pameran ini menghadirkan lanskap visual yang kaya dan beragam, mulai dari lukisan hingga instalasi tiga dimensi. Setiap lantai OHD Museum, dari lorong masuk hingga lantai dua, dipenuhi karya seni yang merefleksikan perjalanan, filosofi, dan keberagaman gaya para seniman Sakato.

Kurator pameran, Asmudjo J. Irianto, menjelaskan bahwa tajuk pameran ini berasal dari falsafah Minangkabau “Alam Terkembang Jadi Guru” yang diolah menjadi bentuk lebih kontemporer: “Guru Terkembang Jadi Bentuk”. Maknanya, sumber pembelajaran dalam seni tak hanya berasal dari guru formal, melainkan juga pengalaman hidup dan lingkungan.

“Karena mereka datang dari guru yang berbeda, bukan hanya tokoh, tapi juga pengalaman hidup,” ujar Asmudjo.

Dari 120 anggota aktif, 61 seniman dipilih mewakili wajah komunitas ini, masing-masing menampilkan satu hingga dua karya. Menurut kurator kedua, Anton Rais Makoginta, tidak ada dominasi gaya tertentu. Justru kekuatan Sakato terletak pada nuansa puitis yang kuat dalam ekspresi visual mereka, mencerminkan akar budaya Minangkabau yang kaya metafora.

“Kalau Sakato gayanya lebih ke puitis. Karena budaya Minang itu kan memang banyak metafora. Cara bicara kami sehari-hari pun penuh kiasan,” jelas Anton.

Pameran ini juga menampilkan pendekatan post-tradisi, yakni mempertahankan akar budaya namun memaknainya ulang dalam konteks modern. Gaya realisme hidup berdampingan dengan pendekatan eksperimental yang kontemplatif. Ini adalah ruang di mana formalisme non-ideologis tumbuh, sebuah bentuk yang lahir dari pengalaman dan eksplorasi bebas, bukan dari dogma.

Dr. Oei Hong Djien, pendiri OHD Museum, menyebut Sakato sebagai salah satu komunitas seni langka di Indonesia yang mampu bertahan selama tiga dekade.

“Mereka bukan sekadar komunitas, tapi semacam jaringan hidup. Setiap anggotanya diberi ruang untuk belajar dan bereksperimen,” ujar kolektor kawakan itu.

Ia menambahkan, sejak lama OHD Museum memang dirancang bukan hanya untuk memamerkan karya, tetapi sebagai simpul penting perkembangan seni rupa Indonesia.

“Pameran ini membuktikan bahwa komunitas bisa tumbuh dan tetap berakar dalam semangat kebersamaan,” tegasnya.

Sakato sendiri lahir di Yogyakarta pada 1995 sebagai wadah seniman Minangkabau perantauan. Meski begitu, sejak awal mereka menolak eksklusivitas. Anggotanya kini berasal dari berbagai generasi, media, dan pendekatan seni, namun tetap menyatu dalam diskusi yang egaliter.

Menurut Erizal As, salah satu dewan pembina komunitas, pameran ini bukan sekadar retrospektif, tapi pernyataan posisi Sakato di medan seni Indonesia.

“Kami ingin menunjukkan bahwa budaya Minangkabau masih hidup dalam karya-karya kami, meski tak selalu dalam bentuk langsung,” katanya.

Walikota Magelang Damar Prasetyono, menyambut hangat gelaran ini. Ia menyebut pameran ini tak hanya memperkaya warna seni di kota kecil ini, tapi juga menjadi peluang untuk menghidupkan kembali museum sebagai pusat edukasi dan destinasi wisata seni budaya.

“Ke depan, kami akan terus dorong museum seperti OHD agar menjadi pusat pembelajaran seni bagi masyarakat,” ujarnya. Ia juga berjanji menyiapkan ruang dan program bagi seniman muda Kota Magelang agar dapat berkembang dan tampil.

Melalui pameran ini, Sakato tidak hanya menunjukkan ketahanan kolektif seni selama 30 tahun, tetapi juga mempertegas bahwa dalam keberagaman dan kontemplasi, seni Indonesia terus bertumbuh tanpa tercerabut dari akarnya.

Pameran terbuka untuk umum hingga 18 Oktober 2025 di OHD Museum, Jalan Jenggolo No. 14, Kota Magelang. Pengunjung akan disuguhi karya-karya yang tak hanya menggugah visual, tetapi juga menyentuh kedalaman batin dan sejarah kebudayaan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *